Sampai saat ini sepertinya sikap yang terekam dalam kata TEGAS ini memang belum ada dalam diriku secara utuh. Jika ditakar mungkin porsinya malah tidak mencapai 50% dari total 100% yang seharusnya ada. Ketika komitmen dibuat tidak jarang karena sikap ketidaktegasan ini membuat komitmen tadi goyah atau bahkan sampai hancur. Karena ketidaktegasan ini tidak sedikit dari yang seharusnya tidak boleh dilakukan kemudian menjadi kebiasaan. Semula memang hanya berdampak pada diri sendiri, tapi pada akhirnya ternyata tidak sedikit orang yang kecewa dengan sikap ketidaktegasan ini.
Rabu, 30 November 2011
[9] Tegas
Tegas. Bersikaplah tegas. Tidak harus keras, tapi TEGAS!
Sampai saat ini sepertinya sikap yang terekam dalam kata TEGAS ini memang belum ada dalam diriku secara utuh. Jika ditakar mungkin porsinya malah tidak mencapai 50% dari total 100% yang seharusnya ada. Ketika komitmen dibuat tidak jarang karena sikap ketidaktegasan ini membuat komitmen tadi goyah atau bahkan sampai hancur. Karena ketidaktegasan ini tidak sedikit dari yang seharusnya tidak boleh dilakukan kemudian menjadi kebiasaan. Semula memang hanya berdampak pada diri sendiri, tapi pada akhirnya ternyata tidak sedikit orang yang kecewa dengan sikap ketidaktegasan ini.
read more
Sampai saat ini sepertinya sikap yang terekam dalam kata TEGAS ini memang belum ada dalam diriku secara utuh. Jika ditakar mungkin porsinya malah tidak mencapai 50% dari total 100% yang seharusnya ada. Ketika komitmen dibuat tidak jarang karena sikap ketidaktegasan ini membuat komitmen tadi goyah atau bahkan sampai hancur. Karena ketidaktegasan ini tidak sedikit dari yang seharusnya tidak boleh dilakukan kemudian menjadi kebiasaan. Semula memang hanya berdampak pada diri sendiri, tapi pada akhirnya ternyata tidak sedikit orang yang kecewa dengan sikap ketidaktegasan ini.
Yah, banyak memang cambukan yang sebenarnya sudah ku dapatkan dari orang-orang disekitarku. Tapi karena hati ini yang mungkin sudah mulai terindikasi berbagai penyakit, hingga akhirnya cambukan sekeras apapun rasa-rasanya tidak akan terasa. Sampai akhirnya beberapa hari yang lalu ada seorang yang bilang kecewa, atau sangat kecewa mungkin dengan sikapku. Sikap yang berawal dari ketidaktegasan, sikap yang tidak berani untuk bilang tidak atau iya secara mantap dari awal.
Maafkan aku jika selama ini sikapku salah, tidak menunjukan bagaimana seharusnya seorang laki-laki bersikap. Sungguh tidak ada maksud apa-apa dari semua sikapku selama ini, tidak untuk mempermainkan atau menyakiti. Semata-mata murni hanya ingin menjadi seorang kakak yang baik, tapi mungkin banyak dari sikapku yang malah membuatmu sakit. Jangan pernah lagi kau teteskan air matamu itu karena aku, pergilah yang jauh, sejauh-jauhnya kau bisa. Carilah dia yang mampu membuatmu bahagia, yang tidak akan pernah membuatmu kecewa.
Aku akan berusaha untuk bersikap tegas dalam komitmenku saat ini. Jika kemarin aku bersikap kurang tegas memang ada sebuah alasan yang memaksaku untuk berbuat seperti itu. Alasan yang melahirkan komitmenku saat ini ada. Jadi biarkanlah aku berusaha untuk memenuhi porsi kata TEGAS itu dalam diriku. Aku akan mulai dari sikap tegas untuk tidak melanggar komitmen ini. Be Happy Sist...:-) berharap kau selalu bahagia mulai saat ini dan seterusnya...amiin.
Selasa, 29 November 2011
[8] Bonus Demografi, antara Kesempatan Emas atau Bumerang Pembangunan Indonesia
Bonus demografi, sebuah peluang besar bagi suatu Negara untuk melakukan percepatan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi akan dialami oleh Indonesia pada tahun 2020-2030. Peluang besar yang terjadi sekali dalam seumur hidup bangsa Indonesia ini merupakan suatu kesempatan emas untuk dapat menggenjot produktivitas dan pertumbuhan ekonomi sehingga pencapaian kesejahteraan akan semakin cepat didapat. Pada periode itu proporsi anak berusia kurang dari 15 tahun terus berkurang dibandingkan dengan penduduk usia kerja, lebih dari 15 tahun. Dengan kata lain proporsi penduduk usia kerja jauh lebih besar dibandingkan proporsi penduduk bukan usia kerja.
Semakin besarnya proporsi penduduk usia produktif ini menyebabkan jumlah tanggungan semakin kecil. Pada periode 2020-2030, sebanyak 100 pekerja hanya menanggung 44 anak. Jumlah tanggungan itu lebih sedikit dibandingkan tahun 2010 dimana 100 pekerja menanggung 51 anak dan jauh lebih kecil dari tahun 1971 dimana 100 pekerja menanggung 86 anak (Kompas, 25 November 2011). Hal ini berarti pada periode 2020-2030 Indonesia memiliki kesempatan besar untuk memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Adanya kesempatan emas ini memang memberikan angin segar bagi Indonesia dalam mencapai tujuan pembangunannya. Semakin banyak penduduk usia kerja yang ada berarti semakin banyak pula jumlah tenaga kerja yang tersedia dalam proses produksi. Dengan demikian, tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi yang sangat penting bukan menjadi kendala lagi dalam proses produksi. Sehingga pada akhirnya diharapkan produktivitas yang dihasilkan akan semakin meningkat sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pencapaian kesejahteraan untuk masyarakat semakin cepat tercapai.
Namun demikian, apakah kesempatan bonus demografi ini mampu dimanfaatkan secara baik oleh Indonesia atau malah akan menjadi bumerang yang merugikan Indonesia sendiri? Pertanyaan ini memang masih layak dipertanyakan, pasalnya sampai dengan tahun 2010 ini dari 116,5 juta orang yang tergolong angkatan kerja ternyata 8,3 juta (7,14%) diantaranya masih menganggur. Hal ini menunjukan bahwa penciptaan lapangan kerja di Indonesia sampai saat ini masih belum mampu menyerap seluruh angkatan kerja yang ada. Jika pada periode 2020-2030 penciptaan lapangan kerja yang ada masih seperti saat ini maka bonus demografi yang terjadi justru akan menjadi masalah pembangunan karena akan meningkatkan jumlah pengangguran.
Selain itu, kualitas penduduk yang berada pada usia produktif tersebut juga merupakan salah satu poin penting yang harus dipikirkan. Apa jadinya jika sebagian besar penduduk usia produktif yang diperkirakan mencapai 167 juta jiwa pada tahun 2025 berpendidikan rendah atau tak lulus pendidikan tingkat menengah? Peluang emas dari bonus demografi ini pun akan gagal dimanfaatkan. Sebagian besar penduduk produktif itu hanya akan bekerja pada sektor informal dan tak mampu mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Padahal pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan salah satu kunci dalam menciptakan tersedianya lapangan kerja.
Melihat hal ini maka peran pemerintah sangat diperlukan dalam mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kesempatan bonus demografi ini. Jangan sampai kesempatan emas ini berlalu begitu saja tanpa ada perubahan baik yang terjadi, dan jangan sampai kesempatan emas ini malah menjadi sesuatu yang bakal merugikan Indonesia sendiri. Rumusan-rumusan kebijakan yang tepat dan matang sangat diperlukan sehingga pada saatnya nanti kesempatan emas ini dapat dimanfaatkan dengan baik bukan malah menjadi bumerang yang menyerang diri sendiri.
read more
Semakin besarnya proporsi penduduk usia produktif ini menyebabkan jumlah tanggungan semakin kecil. Pada periode 2020-2030, sebanyak 100 pekerja hanya menanggung 44 anak. Jumlah tanggungan itu lebih sedikit dibandingkan tahun 2010 dimana 100 pekerja menanggung 51 anak dan jauh lebih kecil dari tahun 1971 dimana 100 pekerja menanggung 86 anak (Kompas, 25 November 2011). Hal ini berarti pada periode 2020-2030 Indonesia memiliki kesempatan besar untuk memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Adanya kesempatan emas ini memang memberikan angin segar bagi Indonesia dalam mencapai tujuan pembangunannya. Semakin banyak penduduk usia kerja yang ada berarti semakin banyak pula jumlah tenaga kerja yang tersedia dalam proses produksi. Dengan demikian, tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi yang sangat penting bukan menjadi kendala lagi dalam proses produksi. Sehingga pada akhirnya diharapkan produktivitas yang dihasilkan akan semakin meningkat sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pencapaian kesejahteraan untuk masyarakat semakin cepat tercapai.
Namun demikian, apakah kesempatan bonus demografi ini mampu dimanfaatkan secara baik oleh Indonesia atau malah akan menjadi bumerang yang merugikan Indonesia sendiri? Pertanyaan ini memang masih layak dipertanyakan, pasalnya sampai dengan tahun 2010 ini dari 116,5 juta orang yang tergolong angkatan kerja ternyata 8,3 juta (7,14%) diantaranya masih menganggur. Hal ini menunjukan bahwa penciptaan lapangan kerja di Indonesia sampai saat ini masih belum mampu menyerap seluruh angkatan kerja yang ada. Jika pada periode 2020-2030 penciptaan lapangan kerja yang ada masih seperti saat ini maka bonus demografi yang terjadi justru akan menjadi masalah pembangunan karena akan meningkatkan jumlah pengangguran.
Selain itu, kualitas penduduk yang berada pada usia produktif tersebut juga merupakan salah satu poin penting yang harus dipikirkan. Apa jadinya jika sebagian besar penduduk usia produktif yang diperkirakan mencapai 167 juta jiwa pada tahun 2025 berpendidikan rendah atau tak lulus pendidikan tingkat menengah? Peluang emas dari bonus demografi ini pun akan gagal dimanfaatkan. Sebagian besar penduduk produktif itu hanya akan bekerja pada sektor informal dan tak mampu mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Padahal pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan salah satu kunci dalam menciptakan tersedianya lapangan kerja.
Melihat hal ini maka peran pemerintah sangat diperlukan dalam mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut kesempatan bonus demografi ini. Jangan sampai kesempatan emas ini berlalu begitu saja tanpa ada perubahan baik yang terjadi, dan jangan sampai kesempatan emas ini malah menjadi sesuatu yang bakal merugikan Indonesia sendiri. Rumusan-rumusan kebijakan yang tepat dan matang sangat diperlukan sehingga pada saatnya nanti kesempatan emas ini dapat dimanfaatkan dengan baik bukan malah menjadi bumerang yang menyerang diri sendiri.
Langganan:
Postingan (Atom)